Senin, 04 Mei 2015

Siapakah yang Mengusap Air Mata Fatimah?

Fatimah... seorang gadis di awal masa mudanya. Dalam feminitasnya yang sempurna. Kecantikannya sedang-sedang saja. Tapi ia mempunyai pekerti dan agama yang baik. Hari ini, ia telah menyelesaikan jenjang SMAnya dengan nilai yang cemerlang. Sekarang ia sangat bersemangat untuk melanjutkan kuliahnya di jenjang universitas.


Dan di masa penantian datangnya masa pendaftaran di universitas, tiba-tiba saja terlintas di benaknya -sangat wajar dialami oleh gadis manapun- pikiran yang tak mungkin ia abaikan.

Apakah menikah dulu kemudian kuliah? Atau kuliah dulu sebelum menikah? Atau menikah bersamaan dengan kuliah?

Namun ia kemudian mengatakan kepada dirinya sendiri: "Ini pikiran yang terlalu dini. Dan satu-satunya yang dapat memperjelas jawabannya adalah jika pemuda impian itu akhirnya datang..."

Lalu ia mengatakan: "Yah, tapi di manakah pemuda impian itu?"

Ia kemudian larut dalam khayalannya. Pemuda impian, bagaimanakah ia? Berapa usianya? Studinya bagaimana?
Begitu banyak pertanyaan yang bergumul dalam benak Fatimah...

Namun ia akhirnya sampai pada sebuah keputusan setelah memikirkan dan merenungkan secara mendalam, bahwa syarat yang harus dipenuhi oleh pemuda itu jika ingin mempersuntingnya adalah ia harus mempunyai pekerti dan agama yang baik! Lebih baik lagi jika ia memiliki sifat-sifat lainnya.

* * *

Hari-hari penantian yang panjang dan hari-hari penantian masa pendaftaran universitas, begitu lama waktu itu tiba. Terutama jika penantian itu diliputi hasrat dan keinginan yang menyala-nyala. Pada saat seperti itulah, detik-detik berubah menjadi jam-jam yang panjang...

Dan sebelum masa pendaftaran itu akhirnya tiba, semerbak sang pemuda impian tak diduga berhembus dalam kehidupannya. Ia bukan pemuda yang kaya raya atau terlalu istimewa, namun ia memiliki pekerti dan agama yang baik. Ia sangat baik. Sekarang ia masih kuliah di tingkat universitas.


Fatimah diberi tahu tentang itu. Dan ia senang dengan sifat yang dimiliki pemuda itu. Sekarang keputusannya ada di tangan Fatimah. Kedua orang tuanya tidak memaksa ia untuk menerima lamaran itu. Mereka hanya menjelaskan lalu menyerahkan keputusan kepadanya.


Ini tentu saja menjadi saat-saat yang menegangkan. Keputusannya saat ini menentukan perjalanan masa depannya. Detik demi detik berlalu, dan ia masih diam. Yang pasti, Fatimah merasa bahwa pemuda itu akan menjadi kawan terbaiknya dalam menjalani kehidupan. Namun ia terlalu pemalu. Yah, Fatimah terlalu pemalu untuk berbicara. Ia berharap dua orang tuanya berusaha membujuknya untuk menerima lamaran itu. Karena itu, ia justru mengatakan:


"Aku belum mau menikah, aku masih kecil, dan menikah itu nanti setelah lulus kuliah."


Setelah itu, ia lalu berlari masuk ke kamarnya. Dan di balik pintu kamarnya, ia mencuri dengar pembicaraan orang tuanya. Ia menunggu dan menunggu ayah atau ibunya datang mengulangi tawaran itu, dan membujuknya untuk menerimanya. Lalu kemudian 'dengan terpaksa' ia menerimanya.


Beberapa menit berlalu. Tapi apa yang ia harapkan terjadi, tidak terjadi. Ayah dan ibunya tidak berusaha membujuknya kembali. Bahkan beberapa jam, beberapa hari berlalu, tidak ada apa-apa yang terjadi. Berhari-hari ia menunggu, bahkan berusaha selalu dekat dengan ibunya, siapa tahu ia menyinggung atau berusaha membujuknya, namun ia tahu bahwa orang tuanya telah menolak lamaran itu...



* * *

Maka Fatimah pun harus menjalani hari-harinya dalam penyesalan yang tak menentu. Namun ia masih bisa berkata: "Umurku masih menyisakan peluang..."

Dan akhirnya, pendaftaran di universitas pun mulai dibuka. Fatimah memfokuskan hidup di sana dan melewati hari-harinya dengan menekuni studinya. Tidak sulit baginya untuk menjadi mahasiswi yang cemerlang dan berprestasi di kampus. Kini, ia menjadi bintang yang sangat dikagumi dan dihormati.

* * *

Tahun-tahun perkuliahan berlalu satu demi satu. Dan Fatimah masih menunggu kehadiran seorang "kawan seperjalanan hidup" yang berkenan mengetuk pintunya...

Dan betul saja, akan datang dua orang pemuda ke rumahnya. Keduanya memenuhi semua kesempurnaan yang diangankan oelh setiap gadis; budi pekerti, kemuliaan dan agama.

Fatimah gembira bukan main dengan kabar ini. Ia selalu berusaha mencuri dengar pembicaraan ayah-ibunya, kapan gerangan kedua pemuda itu akan datang. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk tidak membiarkan kesempatan kali ini pergi begitu saja.

Tapi...

Tapi ternyata ia keliru. Kedua pemuda itu datang untuk melamar kedua adiknya. Dan tidak lama setelah itu, keduanya menikah, dan tinggalah Fatimah sendiri dalam tembok-tembok kamarnya.

* * *

Tahun-tahun di kampus berlalu, dan Fatimah berhasil menyelesaikannya dengan sangat gemilang. Dalam hatinya, ia berkata: "Sekarang aku telah memiliki satu hal lagi yang akan menjadi daya tarik para pelamar!"

Hari demi hari berlalu, kemudian bulan demi bulan. Setiap hari berlalu dan nama Fatimah pun semakin tenggelam. Tidak ada lagi yang datang, dan mungkin tidak akan pernah...

Adik laki-lakinya -yang merupakan satu-satunya anak laki-laki dalam keluarganya- pun melamar gadis pilihannya. Lalu mereka menikah, dan sang ibu berusaha membujuk mereka untuk tetap tinggal di rumahnya dan tidak meninggalkannya. Namun sang adik menjawab: "Kalian ingin istriku berkhidmat pada kalian, sementara kalian sendiri masih memiliki si perawan tua ini?"

Meski ia kemudian menyesali kalimat itu dan meminta maaf kepada kakaknya, lalu seakan tidak ada yang terjadi...

Tapi mana mungkin Fatimah melupakan kalimat itu. Kalimat itu menjadi semacam belati beracun yang ditancapkan ke hatinya lalu mencabik-cabiknya menjadi beberapa bagian...

* * *

Hari-hari kesendirian setelah lulus kuliah terasa begitu panjang. Karenanya Fatimah kemudian memutuskan untuk melanjutkan kuliahnya ke jenjang yang lebih tinggi, demi membuang rasa sakit kesendiriannya...

Yah, bertahun-tahun lamanya Fatimah menyembunyikan rasa kerontang kesendirian itu. Ia berusaha untuk kelihatan ridha dan bahagia dengan semuanya. Ia selalu mengatakan kepada kawan-kawannya bahwa dia memang memilih jalan ini. Ia yang melakukannya dan karena itu ia bahagia dengan itu semua...

Tahun demi tahun berlalu, hingga akhirnya Fatimah berhasil meraih gelar doktornya. Namanya termuat di berbagai media. Para pemerhati ilmu sangat menghormatinya. Ia dianggap sebagai pelopor dalam masyarakat dan teladan bagi kaum wanita lainnya...

Tapi, apakah itu semua yang diinginkan Fatimah? Apakah ini semua memang mimpi Fatimah dan obsesinya?

Ia selalu menanyakan pertanyaan itu kepada dirinya sendiri. Tapi ia tak menemukan jawabannya...

Satu hari, ia berdiri memandang gambar ijazah doktornya yang tergantung di tembok kamarnya. Ia memperhatikannya. Lalu seakan ia berbicara padanya: "Wahai ijazahku, engkau telah memberiku popularitas, kehormatan dan kedudukan, tapi apakah mungkin engkau memberiku seorang suami yang shalih, anak-anak dan keluarga yang tenang dan bahagia? Apakah engkau bisa memberiku itu? Engkau telah menjauhkanku dari itu semua..."

Lalu tangisnya pun meledak, tangannya meremas rambutnya yang sebagian telah memutih...

* * *

Disadur sepenuhnya dari buku "Chicken Soup For Muslim"

Tidak ada komentar :

Posting Komentar