بسم الله الرحمن الرحيم
Imam
Ahmad bin Hanbal rahimahullah
Adapun Imam Ahmad,
beliau adalah imam yang paling banyak mengumpulkan hadits dan paling berpegang
teguh kepada hadits, sampai-sampai “Beliau membenci menulis buku yang berisi
masalah furu’ dan ra’yu.” Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ibnul Jauzi dalam al-Manaaqib
(hal. 192).
Pertama
لَا تُقَلِّدْنِـيْ وَلَا تُقَلِّدْ مَـــالِكًا وَلَا الشَّافِـعِـيَّ
وَلَا الْأَوْزَعِـيَّ وَلَا الثَّوْرِيَّ, وَخُذْ مِنْ حَـيْثُ أَخَذُوْا.
“Janganlah
kalian bertaqlid kepadaku dan jangan pula kalian bertaqlid kepada Malik,
asy-Syafi`i, al-Auza`i, dan ats-Tsauri. Ambilah dari mana mereka mengambil.”
Diriwayatkan dalam al-Filani
(hal. 113) dan Ibnul Qayyim dalam I`laamul Muwaqqi`iin (II/302).
Kedua
لَا تُقَلِّدْ دِيْنَكَ أَحَدًا مِنْ هَؤُلَاءِ, مَا جَاءَ عَنِ
النَّبِـيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَصْحَابِهِ, ثُـمَّ
التَّابِعِيْنِ بَعْدُالرَّجُلُ فِيْهِ مُـخَيَّرٌ. وَقَالَ مَرَّةً:
(أَلْإِتِّبَاعُ أَنْ يَتَّبِعَ الرَّ جُلُ مَـا جَاءَ عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ أَصْحَابِهِ, ثُـمَّ هُوَ مِنْ بَعْدِ
التَّابِعِيْنَ مُـخَيَّرٌ.
“Janganlah
kalian bertaqlid dalam agama kalian kepada salah seorang di antara mereka (para
imam). Ada pun yang datang dari Nabi shallallahu alaihi wasallam
dan para Sahabatnya, maka ambillah, kemudian pendapat para Tabi`in, setelah mereka boleh dipilih.” Pada suatu ketika beliau juga berkata: “Ittiba` adalah, seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabatnya, kemudian setelah pendapat para Tabi`in ia boleh memilih.”
dan para Sahabatnya, maka ambillah, kemudian pendapat para Tabi`in, setelah mereka boleh dipilih.” Pada suatu ketika beliau juga berkata: “Ittiba` adalah, seseorang mengikuti apa yang datang dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan para Sahabatnya, kemudian setelah pendapat para Tabi`in ia boleh memilih.”
Diriwayatkan oleh Abu
Dawud dalam Masaa-il al-Imam Ahmad (hal. 276, 277).
Ketiga
رَأْيُ الْأَوْزَاعِيِّ وَرَأْيُ مَالِكً وَرَأْيُ أَبِـيْ حَنِيْفَةَ
كُلُّهُ رَأْيٌ, وَهُوَ عِنْدِيْ سَوَاءٌ, وَإِنَّـمَا الْـحُجَّةُ فِـيْ
الْآثَارِ.
“Pendapat
al-Auza`i, pendapat Malik, pendapat Abu Hanifah, semuanya hanya pendapat, bagi
saya semuanya sama. Yang menjadi hujjah hanyalah atsar.”
Diriwayatkan oleh
Ibnu `Abdil Barr dalam al-Jaami` (II/149).
Keempat
مَنْ رَدَّ حَدِيْثَ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَهُوَ عَلَى شَفَا هَلَكَةٍ.
“Barangsiapa
yang menolak hadits Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka ia berada pada
jurang kehancuran.”
Ibnul Jauzi (hal.
182)
Demikianlah perkataan
mereka (semoga Allah meridhai mereka) dalam masalah berpegang teguh kepada
hadits, dan larangan bertaqlid kepada mereka tanpa ilmu. Ini adalah perkara
yang sudah jelas yang tidak bisa dipungkiri dan ditakwil lagi. Oleh karena itu,
barangsiapa yang berpegang teguh pada setiap keterangan yang shahih dari Sunnah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, walaupun menyelisihi sebagian
dari pendapat para imam, maka ia tidaklah dikatakan meninggalkan madzhabnya dan
tidak juga keluar dari jalan mereka, bahkan ia telah mengikuti mereka semua,
dan berpegang teguh dengan buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus.
Orang yang meninggalkan Sunnah yang shahih hanya karena Sunnah itu menyelisihi
pendapat mereka tidak tidaklah demikian
keadaannya, bahkan dengan perbuatan tersebut, mereka telah durhaka kepada para
imam, dan mereka telah menyelisihi perkataan mereka di atas.
Allah ta`ala
berfirman:
فَلَا وَرَبِّكَ لَايُؤْمِنُونَ حَتَّى يُـحَكِّمُوكَ فِيْمَا شَجَرَ
بَيْنَهُمْ ثُـمَّ لَا يَـجِدُوا فِي أَنفُسِهِمْ حَرَجًا مِّـمَّا قَضَيْتَ
وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا.
“Maka demi
Rabb-mu, mereka (pada hakekatnya) tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu
hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa
keberatan dala hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka
menerima dengan sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa` : 65)
Allah ta`ala juga
berfirman:
فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُـخَالِفُونَ عَنْ أَمْرِهِ أَن تُصِيْبَهُمْ
فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ.
“Maka hendaklah orang-orang yang
menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang
pedih.” (QS.
An-Nuur : 63)
Berkata al-Hafizh
Ibnu Rajab rahimahullah yang beliau nukil dalam ta`liq kitab Iiqaazhul
Himam (hal. 93) : “Wajib hukumnya bagi orang yang telah sampai kepadanya
perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan mengetahuinya, untuk
menjelaskan kepada umat, menasehati mereka, dan memerintahkan mereka untuk
mengikuti perintah beliau, walaupun perintah tersebut menyelisihi pendapat
tokoh terkemuka dalam umat, karena perintah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam lebih berhak untuk diutamakan dan diikuti daripada pendapat tokoh
terkemuka manapun yang menyelisihi perintah Rasulullah shallallahu alaihi
wasallam dalam beberapa hal karena kesalahan yang tidak disengaja. Oleh karena
itu para Sahabat dan orang-orang setelah mereka membantah setiap orang yang
menyelisihi Sunnah yang shahih, terkadang mereka membantahnya dengan keras,
bukan karena benci terhadap orang yang dibantah, bahkan orang yang dibantah
tersebut merupakan orang yang mereka cintai dan mereka muliakan. Namun
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah lebih mereka cintai, dan perintah
beliau di atas perintah semua mahluk. Apabila perintah Rasulullah shallallahu
alaihi wasallam berlawanan dengan perintah orang selain beliau, maka perintah
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam adalah lebih berhak untuk diutamakan dan
diikuti. Hal ini tidak menghalangi seseorang untuk memuliakan orang yang
menyelisihi perintah beliau tersebut, meskipun orang tersebut adalah orang yang
diampuni. Bahkan orang yang menyelisihi, namun diampuni tersebut, tidak akan
benci jika perintahnya tidak ditaati, apabila nampak bahwa perintah Rasulullah
shallallahu alaihi wasallam menyelisihi perintahnya.”
Orang yang diampuni
bahkan dia mendapat pahala sebagaimana sabda Rasullah shallallahu alaihi
wasallam:
إِذَا حَكَمَ الْـحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ, فَأَصَابَ؛ فَلَهُ أَخْرَانِ, وَإِذَاحَكَمَ
فَاجْتَهَدَ, فَأَخْطَأَ؛ فَلَهُ أجْرٌ وَاحِدٌ.
“Apabila seorang
hakim berijtihad kemudian benar, maka ia mendapat dua pahala. Dan apabila ia
berijtihad kemudian salah, maka baginya satu pahala.”
Diriwayatkan oleh asy-Syaikhan
(Shahiih al-Bukhari dan Shahiih Muslim) dan selain keduanya.
____________________
Keseluruhan tulisan diambil dari kitab Sifat Shalat
Nabi shallallahu alaihi wasallam, penerbit Pustaka Ibnu Katsir, cetakan ke
delapan.
Tidak ada komentar :
Posting Komentar