Jumat, 18 April 2014

Perkataan Para Imam untuk Mengikuti Sunnah Nabi Bagian 3


بسم الله الرحمن الرحيم
Imam Asy-Syafi`i rahimahullah

Adapun nukilan dari Imam Asy-Syafi`i adalah lebih banyak dan lebih baik, dan pengikut beliau adalah lebih banyak mengamalkan pesan beliau tersebut dan lebih beruntung.

Berkata Ibnu Hazm (VI/118) :
“Sesungguhnya para ahli fiqih yang diikuti tersebut menganggap taqlid itu merupakan hal yang bathil. Sungguh, mereka telah mencela sahabat-sahabat mereka untuk bertaqlid kepada diri mereka, dan yang paling keras melarang hal
ini adalah Imam Asy-Syafi`i, beliau rahimahullah menegaskan dengan sangat untuk mengikuti hadits-hadits yang shahih dan berpegang pada apa yang digariskan oleh hujjah, tidak sebagaimana imam yang lainnya tidak sekeras beliau. Beliau berlepas diri dari orang-orang yang bertaqlid dengan beliau secara umum, dan beliau mengumumkan sikap beliau tersebut. Semoga Allah memberikan manfaat melalui beliau, dan memperbanyak ganjaran pahala bagi beliau, beliau telah menjadi sebab adanya kebaikan yang banyak.”

Di antara perkataan beliau :

Pertama

مَا مِنْ أَحَدٍ إِلَّا وَتَذْهَبُ عَلَيْهِ سُنَّتٌ لِرَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَتَعْزُبُ عَنْهُ, فَمَهْمَا قُلْتُ مِنْ قَوْلٍ, أَوْ أَصَّلْتُ مِنْ أَصْلٍ فِيْهِ عَنْ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافَ مَاقُلْتُ, فَلْقَوْلُ مَا قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَهُوَقَوْلِـيْ.

“Tidak ada seorang pun, kecuali ia memiliki kemungkinan untuk lupa terhadap Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam dan bersembunyi darinya. Setiap perkataanku atau setiap ushul (asas) yang saya letakkan, kemudian ternyata riwayat dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menyelisihi perkataanku maka pendapat yang harus diikuti itu adalah apa yang disabdakan oleh Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan aku pun berpendapat dengannya.”

Diriwayatkan oleh al-Hakim dengan sanad beliau yang bersambung sampai kepada Asy-Syafi`i, sebagaimana terdapat dalam Taariikh Dimasyqa karya Ibnu `Asakir (15/1/3), I`laamul Muwaqqi`iin (II/363, 364), dan al-Iiqaash (hal. 100).

Kedua

أَجْـمَعَ الْمُسْلِمُوْنَ عَلَى أنَّ مَنِ اسْتَـبَانَ لَهُ سُنَّةٌ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَـمْ يَـحِلَّ لَهُ أَنْ يَدَعَهَالِقَوْلِ أَحَدٍ.

“Kaum muslimin telah ijma` bahwasannya barangsiapa yang mengetahui dengan jelas suatu Sunnah dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka tidak halal baginya untuk meninggalkan Sunnah tersebut karena perkataan (pendapat) seseorang.”

Diriwayatkan oleh Ibnul Qayyim (II/361) dan al-Filani (hal. 68)

Ketiga

إِذَا وَجَدْتُمْ فِـيْ كِتَابِيْ خِلَافَ سُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقُوْلُوْا بِسُنَّةِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَدَعُوْا مَاقُلْتُ. (وَفِـيْ رِوَايَةٍ : فَاتَّبِعُوْ هَا وَلَا تَلْتَفِتُوْا إِلَى قَوْلِ أَحَدٍ).

“Apabila kalian menjumpai dalam kitabku hal yang bertentangan dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka berpendapatlah kalian sesuai dengan Sunnah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, dan tinggalkan apa yang ku katakan.” (Dalam riwayat yang lain : “Maka ikutilah Sunnah tersebut, dan jangan kalian hiraukan pendapat seorang pun”).

Diriwayatkan oleh Al-Harawi dalam Dzammul Kalaam (III/47/1), al-Khathib dalam al-Ihtijaaj bisy Syaafi`i (VIII/2), Ibnu `Asakir (15/9/1), an-Nawawi dalam al-Majmuu` (I/63), Ibnul Qayyim (II/361) dan al-Filani (hal. 100). Sedangkan riwayat yang lain adalah diriwayatkan oleh Abu Nu`aim dalam al-Hilyah (IX/107) Ibnu Hibban dalam Shahiihnya (III/248-al-Ihsaan) dengan sanad yang shahih dari beliau (Imam Asy-Syafi`i).

Keempat

إِذَا صَحَّ الْحَدِيْثُ فَهُوْ مَذْهَبِـيْ.

“Apabila suatu hadits telah jelas shahih, maka itulah madzhabku.”

Imam an-Nawawi dalam referensi tersebut di atas, dan asy-Sya`rani (I/57) lalu beliau menyandarkan kepada al-Hakim dan al-Baihaqi, dan al-Filani (hal. 107), berkata asy-Sya`rani :
“Berkata Ibnu Hazm : ‘Maksudnya shahih menurut beliau atau menurut imam-imam yang lainnya.’”

Kelima

أَنْتُمْ أَعْلَمُ بِالْـحَدِيْثِ وَالرِّخَالِ مِنِّـيْ, فَإِذَا كَانَ الْـحَدِيْثُ الصَّحِيْحُ, فَأَعْلِمُوْنِيْ بِهِ أَيَّ شَيْءٍ يَكُوْنُ: كُوْفِـيًّا أَوْبَصْرِيًّا أَوْشَامِيًّا, حَتَّى أَذْهَبَ إِلَيْهِ إِذَاكَانَ صَحِيْحًا.

Engkau (yang dimaksud adalah Imam Ahmad bin Hanbal rahimahullah) lebih tahu tentang hadits dan para perawi dibandingkan aku, apabila didapatkan suatu hadits yang shahih maka beritahu aku, dari mana pun hadits tersebut berasal, baik dari orang Kufah, Bashrah, ataupun Syam, sehingga aku bisa berpendapat dengannya, apabila hadits itu shahih.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Aadaab asy-Syafi`i (hal. 94-95), Abu Nu`aim dalam al-Hilyah (XI/106), dan al-Khathib dalam al-Ihtijaaj bisy Syafi`i (VIII/1), dari beliaulah Ibnu `Asakir meriwayatkan perkataan ini (15/9/1), begitu pula Ibnu `Abdil Barr dalam al-Intiqaa` (hal. 75), Ibnul Jauzi dalam Manaaqib al-Imam Ahmad (hal. 499) dan al-Harawi dengan tiga sanad, dari `Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, dari bapaknya : “Bahwasannya asy-Syafi`i berkata kepadanya...,” riwayat ini shahih dari beliau (Imam Ahmad). Oleh karenanya Ibnul Qayyim menegaskan penisbatan perkataan ini kepada beliau dalam al-I`laam (III/325), begitu pula al-Filani dalam al-Iiqaazh (hal. 152), kemudian beliau berkata:
“Berkata al-Baihaqi : ‘Oleh karena itu beliau (Imam asy-Syafi`i) banyak mengambil hadits, beliau telah mengumpulkan ilmu penduduk Hijaz, Syam, Yaman dan Iraq. Beliau telah mengambil semua hadits yang shahih menurut beliau, tanpa memihak kepada salah satu darinya, juga tidak condong kepada madzhab yang sedang dicenderungi oleh penduduk negerinya walaupun jelas bagi mereka kebenaran itu ada pada selain mereka. Sebelum beliau ada orang-orang yang hanya membatasi diri pada apa yang dikenal dalam madzhab penduduk negerinya, mereka tidak bersungguh-sungguh untuk mencari tahu kebenaran pendapat yang menyelisihi mereka, semoga Allah mengampuni kita dan mengampuni mereka juga.’”

Keenam

كُلُّ مَسْأَ لَةٍ صَحَّ فِيْهَا الْـخَبَرُ عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عِنْدَ أَهْلِ النَّقْلِ بِـخِلَافِ مَاقُلْتُ, فَأَنَا رَاجِعٌ عَنْهَا فِيْ حَيَاتِـيْ وَبَعْدَ مَوْتِـيْ.

“Setiap permasalahan yang berkenaan dengannya ada hadits shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menurut para ahli periwayatan (hadits), dan bertentangan dengan apa yang aku katakan, maka aku menarik kembali pendapatku, baik ketika aku hidup maupun setelah aku mati.”

Diriwayatkan oleh Abu Nu`aim dalam al-Hilyah (IX/107), al-Harawi (47/1), Ibnul Qayyim dalam I`laamul Muwaqqi`iin (II/363), dan al-Filani (hal. 104).

Ketujuh

إِذَا رَأَيْتُمُوْنِـيْ أَقُوْلُ قَوْلًا, وَقَدْ صَحَّ عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافُهُ, فَاعْلَمُوْا أَنَّ عَقْلِيْ قَدْ ذَهَبَ.

Apabila kalian melihat aku mengatakan suatu pendapat, sedangkan telah shahih dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam hadits yang menyelisihi pendapatku, maka ketahuilah bahwasannya akalku telah hilang.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Aadaab asy-Syafi`i (hal. 93), Abul Qasim as-Samarqandi dalam al-Amaalii, sebagaimana yang ditulis dalam al-Muntaqa (ringkasan dari kitab tersebut), karya Abu Hafsh al-Mu`addib (234/1), Abu Nu`aim dalam al-Hilyah (IX/106), dan Ibnu `Asakir (15/10/1), dengan sanad yang shahih.

Kedelapan

كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خِلَافُ قَوْلِـيْ مِـمَّا يَصِحُّ فَحَـدِيْثُ النَّبِـيِّ أَوْلَـى, فَلَا تُقَلِّدُوْنِـيْ.

“Setiap apa yang aku katakan, sedangkan riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu alaihi wasallam menyelisihi pendapatku, maka hadits Nabi adalah lebih utama, janganlah kalian bertaqlid kepadaku.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim (hal. 93), Abu Nu`aim, dan Ibnu `Asakir (15/9/2) dengan sanad yang shahih.

Kesembilan

كُلُّ حَدِيْثٍ عَنِ النَّبِـيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَهُوَ قَوْلِـيْ وَإِنْ لَـمْ تَسْمَعُوْهُ مِنِّـيْ.

“Setiap hadits dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam, maka itu adalah pendapatku juga, walaupun kalian tidak pernah mendengarnya dariku.”

Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim (hal. 93-94).

____________________
Keseluruhan tulisan diambil dari kitab Sifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam, penerbit Pustaka Ibnu Katsir, cetakan ke delapan.


Tidak ada komentar :

Posting Komentar