Kamis, 14 Mei 2015

Kisah Nabi ﷺ Ke Thaif

Pada bulan Syawwal tahun 10 dari kenabian, atau tepatnya pada penghujung bulan Mei atau Juni 619 M, Rasulullah ﷺ keluar menuju Thaif yang letaknya sekitar 60 mil dari kota Mekkah. Beliau pergi ke sana dengan berjalan kaki didampingi Zaid bin Haritsah, yang saat itu masih menjadi budak. Setiap melewati perkampungan kabilah, beliau mengajak mereka kepada Islam, namun tidak ada seorang pun yang menyambut ajakan beliau.

Tatkala tiba di Thaif, beliau mendekati tiga orang
bersaudara yang merupakan para pemuka kabilah Tsaqif. Mereka adalah Abd Yalail, Mas’ud dan Habib. Ayah mereka bernama ‘Amru bin Umair Ats-Tsaqafi. Beliau duduk-duduk bersama mereka sembari mengajak mereka kepada Allah dan membela Islam.

Salah seorang dari mereka berkata, “Jika Allah benar-benar mengutusmu, itu berarti Dia telah merobek-robek kiswah Ka’bah.” Orang kedua berkata, “Apakah Allah tidak menemukan orang lain selain dirimu?”Orang terkahir berkata, “Demi Allah, aku sekali-kali tidak akan mau berbicara denganmu! Jika memang seorang rasul tentu engkau adalah bahaya besar bila aku menjawab pertanyaanmu dan jika engkau seorang pendusta terhadap Allah, maka tidak patut pula aku berbicara denganmu.” Lalu beliau berkata kepada mereka, “Bila memang itu yang menjadi keputusan kalian, rahasiakanlah tentang diriku.”

Rasulullah ﷺ tinggal di tengah penduduk Thaif selama sepuluh hari. Dan selama masa itu, dia tidak menyia-nyiakan kesempatan untuk bertemu dan berbicara dengan para pemuka mereka. Namun, jawaban mereka hanyalah, “Keluarlah dari negeri kami!” Mereka membiarkan beliau menjadi bulan-bulanan orang-orang bodoh di kalangan mereka. Ketika beliau hendak meninggalkan negeri tersebut, orang-orang bodoh itu beserta budak-budak mereka mencaci maki dan meneriaki beliau, hingga membuat banyak orang berkumpul. Mereka menghadang beliau dengan membuat dua barisan lalu melempari beliau dengan batu dan ucapan-ucapan tak senonoh serta mengarahkannya ke urat di atas tumit beliau, sehingga kedua sendal beliau bersimbah darah.

Zaid bin Haritsah yang bersama beliau, menjadikan dirinya sebagai perisai untuk membentengi beliau ﷺ. Tindakan inin mengakibatkan kepalanya mengalami luka-luka, sedangkan orang-orang tersebut terus melakukan itu hingga memaksanya berlindung ke tembok milik Utbah dan Syaibah, dua orang putra Rabi’ah yang terletak 3 mil dari kota Thaif. Ketika seudah berlindung di sana, mereka pun meninggalkan Rasulullah ﷺ.

Baliau menghampiri sebuah pohon anggur lalu duduk-duduk dan berteduh di bawah naungannya menghadap tembok. Setelah duduk dan merasa tenang kembali, beliau berdoa dengan sebuah doa yang amat masyhur. Doa yang menunjukkan betapa hati beliau dipenuhi rasa duka sekaligus sedih terhadap sikap keras yang dialaminya serta menyayangkan tidak adanya seorang pun yang beriman.

Beliau mengadu,

“Ya Allah, hanya kepada-Mu aku mengadu kelemahan diriku, sedikitnya upayaku serta hinanya diriku di hadapan manusia. Wahai Dzat Yang Paling Pengasih di antara para pengasih! Engkau adalah Rabb orang-orang yang lemah, Engkaulah Rabbku, kepada siapa lagi Engkau menyerahkan diriku? Apakah kepada orang yang jauh tapi bermuka masam terhadapku? Atau kepada musuh yang telah menguasai urusanku? Jika Engkau tidak murka kepadaku, maka aku tidak ambil peduli. Akan tetapi ampunan yang Engkau enugerahkan adalah lebih luas bagiku. Aku berlindung dengan perantara wajah-Mu yang menyinari segenap kegelapan dan yang karenanya urusan dunia dan akhirat menjadi baik agar Engkau tidak turunkan murka-Mu kepadaku atau kebencian-Mu melanda diriku. Engkaulah yang berhak menegurku hingga Engkau menjadi ridha. Tidak ada daya serta kemampuan melainkan karena perkenan-Mu.”

Kedua putra Rabiah yang menyaksikan hal itu menjadi tergerak hatinya, sehingga mereka memanggil Addas, seorang hamba yang beragama Nashrani dan mengabdi kepada mereka, dan berkata kepadanya, “Ambillah setangkai anggur ini dan bawakan untuk orang tersebut!” Tatkala dia menaruhnya di antara kedua tangan Rasulullah, beliau mengulurkan tangannya untuk menerimanya sembari membaca, “Bismillah” lalu memakannya1.

Addas berkata, “Sungguh ucapan ini tidak biasa diucapkan oleh penduduk negeri ini.” Lantas Rasulullah bertanya kepadanya, “Kamu berasal dari negeri mana? Dan apa agamamu?” Dia menjawab, “Aku seorang Nashrani dari penduduk Niwawi (Nineveh).” Rasulullah berkata lagi, “Dari negeri seorang shaleh bernama Yunus bin Matta?” Orang tersebut berkata, “Apa yang kamu ketahui tentang Yunus bin Matta?” Beliau menjawab, “Dia adalah saudaraku, seorang yang dulunya adalah nabi, demikian pula dengan diriku.” Addas merengkuh kepala Rasulullah ﷺ, kedua tangan dan kedua kakinya lalu diciuminya. Sementara itu, salah seorang dari dua putera Rabiah berkata kepada yang lain, “Budakmu itu telah dibuatnya menentangmu.”

Tatkala Addas datang, keduanya berkata kepadanya, “Celakalah dirimu! Apa yang terjadi dengan dirimu ini?”

“Wahai tuanku, tidak ada sesuatupun di muka bumi ini yang lebih baik dari orang ini! Dia telah memberitahukan kepadaku suatu hal yang hanya diketahui oleh seorang Nabi.” Jawabnya, “Celakalah dirimu, wahai Addas! Jangan biarkan dia memalingkanmu dari agamamu sebab agamamu lebih baik daripada agamanya,” kata mereka berdua.

Setelah keluar dari tembok tersebut, Rasulullah ﷺ pulang menuju Mekkah dengan perasaan getir dan sedih serta hati yang hancur lebur. Tatkala sampai di suatu tempat yang bernama Qarn Al-Manazil, Allah mengutus Jibril kepadanya bersama malaikat penjaga gunung yang menunggu perintahnya untuk meratakan Al-Akhasyabain (dua gunung di Mekkah, yaitu Qubais dan yang diseberangnya, Qu’aiqa’an) terhadap penduduk Mekkah.

Imam Al-Bukhari meriwayatkan rincian kisah ini dengan sanadnya dari Urwah bin Az-Zubair bahwasannya Aisyah radhiyallahu anha bercerita kepadanya bahwa dia pernah berkata kepada Nabi ﷺ, “Apakah engkau menghadapi suatu hari yang lebih berat dari perang Uhud?” Beliau bersabda, “Aku pernah mendapatkan perlakuan kasar dari kaummu, tetapi perlakuan mereka yang lebih berat adalah pada waktu di Aqabah ketika aku menawarkan diriku kepada Ibnu Abdu Yalail bin Abdu Kallal tetapi dia tidak menanggapi keinginanku, sehingga aku beranjak dari sisinya dalam kondisi bermuram duka karena sedih. Ketika itu, aku berlum tersadarkan kecuali sudah di dekat Qarn Ats-Tsa’lib (sekarang disebut Qarn Al-Manazil). Waktu aku mengangkat kepalaku, tiba-tiba datang segumpal awan menaungiku, lalu aku melihat ke arahnya dan ternyata di sana ada Jibril yang memanggilku. Dia berkata, “Sesungguhnya Allah telah mendengar ucapan kaummu kepadamu dan reaksi mereka terhadapmu. Allah telah mengutus kepadamu malaikat penjaga gunung untuk engkau perintahkan kepadanya sesuai keinginanmu terhadap mereka.”

Malaikat penjaga gunung tersebut memanggilku sembari memberi salam kepadaku, kemudian berkata, “Wahai Muhammad! Hal itu terserah padamu; jika engkau mengingikan aku meratakan mereka dengan Al-Akhasyabain, maka akan aku lakukan.” Nabi menjawab, “Bahkan aku berharap kelak Allah memunculkan dari tulang rusuk mereka orang-orang yang menyembah Allah semata dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.”

Melalui jawaban yang diberikan Rasulullah ﷺ ini tampaklah sosok unik yang tiada duanya dari kepribadian dan akhlak beliau yang demikian agung yang sulit dicari bandingannya.

Rasulullah ﷺ tersadar dan hatinya merasa tenteram berkat pertolongan gaib yang diberikan oleh Allah kepadanya dari atas tujuh langit. Kemudian beliau meneruskan perjalanan hingga sampai di lembah Nakhlah dan berdiam di sana selama beberapa hari. Di lembah Nakhlah tersebut terdapat dua tempat yang cocok untuk didiami, yaitu As-Sail Al-Kabir dan Az-Zimah, sebab di sana terdapat sumber air dan subur. Namun, kami (penulis kitab) belum menemukan sumber yang berhasil memastikan di mana tepatnya letak tempat yang pernah didiami oleh Rasulullah ﷺ tersebut.
Referensi : Kitab Sirah Nabawiyah, Sejarah Hidup Nabi Muhammad ﷺ penulis Syaikh Shafiyyurrahman Al-Mubarakfuri | Ummul Qura

Catatan :
1. Kisah tersebut didhaifkan oleh Syaikh Al-Bani dalam As-Silsilah Ad-Dhaifah, VI/488, hadits no. 2934


Tidak ada komentar :

Posting Komentar