Minggu, 17 Mei 2015

Khalid bin al-Walid (Bagian 2)

Khalid melanjutkan kisahnya:

Sesampai surat itu padaku, aku sangat ingin pergi ke Madinah. Ucapan Rasulullah ﷺ tersebut membuatku sangat bergembira dan bahagia.

Dalam sebuah mimpi kulihat diriku berada di sebuah negeri yang begitu sesak, sempit lagi kering dan tandus. Kemudian aku keluar menuju sebuah negeri yang begitu hijau dan luas. Aku berkata, “Sungguh mimpi ini benar adanya.”


Tekadku bulat, keinginanku kuat, aku sangat ingin menemui Rasulullah ﷺ.

“Siapa yang akan menemaniku untuk menemui Muhammad?” tanyaku.

Aku pun bertemu dengan Shafwan bin Umayyah.

“Wahai Abu Wahab, tidakkah engkau melihat agama kita ini. Sungguh, Muhammad telah berhasil menguasi Arab dan non-Arab. Kalau saja kita menghadap kepadanya kemudian kita mengikutinya maka kemuliaan Muhammad menjadi kemuliaan kita juga,” kataku kepadanya.

Namun, ia justru menunjukkan sikap penolakan keras kepadaku.

“Sekalipun tidak ada orang Arab yang tersisa selain aku, aku tetap tidak akan mengikuti Muhammad selamanya,” tolak kerasnya.

Kami pun berpisah. Dendam orang ini dalam perang Badr kepada Rasulullah ﷺ belum terbalaskan. Ayah dan saudaranya terbunuh dalam perang Badr.

* * * * *

Kisah keislaman Khalid bin Walid berlanjut:

Aku pun meninggalkan Shafwan bin Umayyah lalu menemui Ikrimah bin Abu Jahl. Aku katakan kepadanya sebagaimana yang telah aku katakan kepada Shafwan. Maka ia mengatakan kepadaku sebagaimana perkataan Shafwan.

“Lupakan apa yang kuucapkan kepadamu...,” kataku kepadanya.

Lalu aku pulang ke rumah. Aku segera memerintahkan agar kendaraanku disiapkan untuk kukendarai guna menemui “Utsman bin Abi Thalhah. ‘Utsman ini adalah salah satu temanku. Kusampaikan kepadanya keinginanku.

Kemudian aku ingat keluarganya yang telah terbunuh mulai dari ayahnya. Aku tidak ingin menyebutkannya.

“Tidak ada yang kuinginkan selain hanya bertemu dengan Muhammad saat ini,” kataku kepadanya.

Kemudian aku menyebutkan beberapa kemungkinan yang akan terjadi. Kusampaikan juga kalimat yang kusebutkan kepada dua temannya sebelumnya.

Dengan begitu cepatnya ia menerima ajakanku. Di malam hati pada waktu sahur akhirnya kami berangkat.

Di tengah perjalanan, kami bertemu ‘Amr bin al-‘Ash.

“Selamat datang, marhaban!” sahut ‘Amr.

“Selamat datang juga!” jawab kami.

“Kalian semua hendak pergi ke mana?”

“Apa yang membuatmu keluar?” kami balik bertanya.

“Justru itu, apa yang membuat kalian berdua keluar?”

“Masuk ke dalam Islam dan mengikuti Muhammad,” jawab kami.

“Itu juga yang mendorongku keluar.”

Kami bertiga akhirnya berjalan bersama hingga sampai ke kota Madinah. Saudaraku segera menemuiku dan berkata,

“Cepatlah, sesungguhnya Rasulullah ﷺ telah diberitahu tentang kedatanganmu. Beliau sangat bergembira sekali. Beliau sedang menunggu-nunggu kalian.”

Jalan kupercepat. Lalu aku segera menemui  beliau. Senyum itu terus saja menggurat pada beliau sampai aku berdiri di hadapan beliau.

Salam kenabian kuhaturkan kepada beliau. Dengan wajah berseri beliau membalasnya.

“Sesungguhnya aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang benar selain Allah dan aku bersaksi bahwa anda adalah utusan Allah,” kataku mengikarkan syahadat.

Beliau berkata, “Segala puji hanya bagi Allah yang telah memberimu petunjuk. Sungguh, dari dulu aku melihat engkau adalah seorang yang cerdas. Dan aku sangat berharap bahwa engkau tidaklah masuk ke dalam Islam kecuali untuk kebaikan.”

* * * * *

Sejak hari itu, Khalid bin al-Walid menerima Islam dengan hati dan sanubarinya.

Di sisi lain rasa sesal atas hari-hariny yang telah berlalu menghantui dirinya. Pada suatu kesempatan, Khalid berkata,

“Wahai Rasulullah, sungguh anda telah melihatku terjun ke dalam berbagai peristiwa dan peperangan dalam keadaan menentang kebenaran. Doakanlah kepada Allah agar ia mengampuniku.”

Nabi ﷺ menjawab, “Sesungguhnya Islam itu menghapus dosa-dosa yang telah lalu.”

Khalid kembali meyakinkan harapan dan asanya. Baru, Rasulullah ﷺ berdoa kepada Rabb-nya,

“Ya Allah, ampunilah segala dosa Khalid bin al-Walid yang telah lalu karena telah menghalang-halangi dari jalan-Mu.”

Khalid akhirnya merasa ridha. Kegembiraan dan kebahagiaan terpancar dalam jiwany.

* * * * *

Ketika Rasulullah ﷺ bertekad untuk menaklukan kota Mekkah, beliau menuju kota itu dengah membawa pasukannya yang begitu besar.

Abu ‘Ubaidah bin al-Jarrah berada di barisan depan...

Az-Zubair bin al-‘Awwam di pasukan sayap kanan...

Sedangkan Khalid bin al-Walid berada di pasukan sayap kiri.

Dengan itu, Khalid kembali ke kota Mekkah tetap sebagai panglima perang. Peristiwa tersebut terjadi tidak lebih dari beberapa bulan setelah keislamannya.

* * * * *

Rasulullah ﷺ memberikan salah satu panji peperangannya dalam penaklukan kota Mekkah, padahal Khalid bin al-Walid masih tergolong baru saja masuk Islam. Sebab, Rasulullah ﷺ melihat dengan cahaya kenabian bahwa akan ada kemenangan dan pertolongan terhadap Islam serta ketinggian panji-panji al-Qur’an yang akan menyertai Khalid bin al-Walid.

Setelah Rasulullah ﷺ menghadap ar-Rafiq al-A’la, tampuk kekhalifahan berpindah ke tangan Abu Bakar ash-Shiddiq.

Khalid bin al-Walid terjun dalam peperangan untuk membasmi kasus kemurtadan, dari awal peperangan hingga akhirnya. Ia memiliki jasa dan andil serta peran yang begitu besar dalam peristiwa terpenting dan momen yang paling sulit dari peperangan itu. Puncaknya pada peristiwa Yamamah.

* * * * *

Ketika pasukan muslimin hendak menyerang bangsa Persia, Khalid juga memiliki sebuah andil dan jasa yang tidak dimiliki oleh siapapun selain dirinya.

Tercatat lima belas pertempuran melawan Persia dan sekutunya dilakukan oleh Khalid bin al-Walid.

Tidak pernah terkalahkan dalam satu pertempuran pun. Tidak pernah luput dalam satu peperangan pun dan tidak pernah ia jatuh menggelepar dalam satu kancah pun.

Ketika pasukan muslimin hendak menyerang pasukan Romawi, Khalid bin al-Walid mendapatkan kehormatan sebagai panglima perang muslimin dalam peperangan Yarmuk. Sebuah pertempuran terbesar yang dilakukan oleh kaum muslimin.

* * * * *

Kedudukan dan martabat Khalid bin al-Walid mencapai puncak keagungannya, ketika datang sepucuk surat dari amirul mukminin ‘Umar bin al-Khaththab memintanya untuk meninggalkan posisi panglima dan komandan perang sedangkan saat itu ia telah berada di puncak karirnya.

Namun, Khalid menaati titah itu. Ia menyerahkan posisi panglima kepada penggantinya.

Dengan jiwa yang penuh kerelaan dan keridhaan, ia beralih dari seorang panglima besar menjadi seorang prajurit biasa dari pasukan kaum muslimin.

Setelah sebelumnya ia menjadi panglima atas pasukan ini.

Semoga Allah mencurahkan rahmat dan kasih sayang-Nya kepada Abu Sulaiman.

Sungguh, ia adalah potret langka dan berharga serta tiada duanya bagi manusia.

* * * * *

Referensi, Sirah Sahabat, Kisah Indah dan Sejarah Gemilang Generasi Terbaik Umat Ini Penyusun Dr. ‘Abdurrahman Ra’fat Basya Jilid 2

Tidak ada komentar :

Posting Komentar