Kamis, 17 April 2014

Perkataan Para Imam untuk Mengikuti Sunnah Nabi Bagian 1


بسم الله الرحمن الرحيم

Imam Abu Hanifah rahimahullah

Imam madzhab yang pertama adalah Abu Hanifah an-Nu`man bin Tsabit rahimahullah. Telah diriwayatkan dari beliau oleh para sahabat beliau perkataan-perkataan yang berbeda-beda dan ungkapan-ungkapan yang bermacam-macam, semuanya mengarah pada satu hal, yaitu wajibnya
berpegang teguh dengan hadits dan meninggalkan taqlid kepada pendapat-pendapat para imam yang menyelisihi hadits.

Pertama

إِذَا صَحَّ الْـحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْ هَبِـيْ
“Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”

Diriwayatkan oleh Ibnu `Abidin dalam al-Haasyiyah (I/63) dan dalam tulisan beliau Rasmul Mufti (I/4), dari Majmuu`ur Rasaa`il Ibni `Abidin, diriwayatkan juga oleh Syaikh Shalih al-Fauzan dalam kitab Iqaazhul Himam (hal. 62) dan diriwayatkan juga oleh yang lainnya. Ibnu `Abidin menukil dari Syarhul Hidaayah karangan Ibnu asy-Syahnah al-Kabir, guru dari Ibnul Humam.


Berikut adalah nash perkataan beliau :
“Apabila suatu hadits itu shahih dan menyelisihi pendapat madzhab, maka yang diamalkan adalah hadits, dan pengamalannya dengan hadits tersebut menjadi madzhab beliau (Abu Hanifah). Seseorang yang taqlid terhadap madzhab Hanafi tidak akan keluar dari madzhabnya karena mengamalkan hadits tersebut, sebab telah shahih dari Abu Hanifah bahwasannya beliau berkata:
إِذَا صَحَّ الْـحَدِيْثُ فَهُوَ مَذْ هَبِـيْ
“Apabila suatu hadits itu shahih, maka itulah madzhabku.”


Hal ini telah diriwayatkan oleh Ibnu `Abdil Barr dan imam-imam yang lainnya dari Abu Hanifah.

Kedua

لَايَـحِلُّ لِأَحَدٍ أَنْ يَأْخُـذَ بِقَوْلِنَا مَا لَـمْ يَعْلَمْ مِنْ أَيْنَ أَخَذْنَاهُ
“Tidak halal bagi seorang pun mengambil pendapat kami, selama ia tidak mengetahui dari mana (dengan dasar apa) kami mengambil pendapat tersebut.”

Dalam riwayat lain :
حَرَامٌ عَلَى مَنْ لَـمْ يَعْـرِفْ دَلِيْلِيْ أَنْ يَفْتِـيَ بِكَلَامِيْ.
“Haram bagi seseorang yang tidak mengetahui dalilku, untuk berfatwa dengan pendapatku.”

فَإِنَّنَا بَشَرٌ, نَقُوْلُ الْقَوْلَ الْيَوْمَ وَنَرْ جِعُ عَنْهُ غَدًا.
“Kami ini hanya manusia belaka, kami mengemukakan satu pendapat pada hari ini, dan kami rujuk (tinjau) kembali esok hari.”

Dalam riwayat lain :
وَيْـحَكَ يَا يَعْقُوْبُ! (هُوَ أَبُوْ يُوْسُفَ) لَاتَكْتُبْ كُلَّ مَا تَسْمَعُ مِنِّـيْ, فَإِنِّـيْ قَدْ أَرَى الرَّأْيَ الْيَوْمَ وَأَتْرُ كُهُ غَدًا وَأَرَى الرَّأْيَ غَدًا وَأَتْرُ كُهُ بَعْدَ غَدٍا.
“Celaka engkau wahai Ya`qub! (yaitu Abu Yusuf) jangan engkau tulis setiap apa yang engkau dengar dariku. Sungguh saya terkadang berpendapat dengan suatu pendapat pada hari ini, dan saya tinggalkan esoknya, dan terkadang saya esok berpendapat dengan suatu pendapat dan saya tinggalkan esok lusa.” 


Diriwayatkan oleh Ibnu `Abdil Barr dalam al-Intiqaa fii Fadhaa-ili ats-Tsalaatsah al-A-immah al-Fuqahaa` (hal. 145), Ibnul Qayyim dalam I`laamul Muwaqqi`iin (II/309), Ibnu `Abidin dalam hasyiyah (catatan kaki) nya terhadap al-Bahrur Raa-iq (VI/293) dan dalam Rasmul Mufti (hal. 29, 32), asy-Sya`rani dalam al-Miizaan (I/55) dengan riwayat kedua, sedangkan riwayat ketiga diriwayatkan oleh `Abbas ad-Duri dalam at-Taarikh karya Ibnu Mu`in (II/77/1) dengan sanad yang shahih dari Zufar. Riwayat semisalnya juga diriwayatkan dari para sahabat beliau (Abu Hanifah) yaitu : Zufar, Abu Yusuf dan `Afiyah bin Yazid, sebagaimana yang terdapat dalam al-Iqaazh (hal. 52), kemudian Ibnul Qayyim (II/344) menegaskan keshahihannya dari Abu Yusuf dan keterangan tambahan terdapat dalam ta`liq terhadap al-Iqaazh dikutip dari Ibnu `Abdil Barr, Ibnul Qayyim, dan yang lainnya.

Ketiga

إِذَا قُلْتُ قَوْلًا يُـخَالِفُ كِتَابَ اللهِ تَعَالَـى وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاتْرُ كُوْا قَوْلِـيْ.
“Apabila saya mengutarakan suatu pendapat yang bertentangan dengan al-Qur`an dan hadits Rasulullahi صلى الله عليه وسلم , maka tinggalkanlah perkataanku.” 

Diriwayatkan oleh al-Filani dalam al-Iqaazh (hal. 50) beliau menisbatkannya kepada Imam Muhammad juga, kemudian beliau berkata:
“Perkataan ini dan yang semisalnya bukan ditujukan kepada seorang mujtahid, karena seorang mujtahid tidak boleh menjadikan perkataan para imam sebagai hujjah, namun perkataan ini ditujukan kepada muqallid (orang yang taqlid).”
____________________
Keseluruhan tulisan diambil dari kitab Sifat Shalat Nabi shallallahu alaihi wasallam, penerbit Pustaka Ibnu Katsir, cetakan ke delapan.

Tidak ada komentar :

Posting Komentar