Hati seorang penuntut ilmu harus lapang dalam masalah perbedaan
pendapat yang bersumber dari proses ijtihad. Sebab masalah perbedaan pendapat
di kalangan ulama bisa jadi tergolong masalah yang tidak ada lagi tempat untuk
berijtihad dalam masalah tersebut. Sebab titik masalahnya sudah jelas
(gamblang) sehingga tidak seorangpun memperoleh udzur (alasan) untuk menyelisihinya.
Bisa jadi masalah tersebut adalah masalah yang masih terbuka pintu
ijtihad di
dalamnya, sehingga seseorang bisa diterima alasannya jika menyelisihi (pendapat yang lain) dalam masalah itu. Bukan berarti ucapanmu akan menjadi bumerang bagi orang yang menyelisihimu, sebab kalau kita menerima (konsep) itu maka tentunya kita akan katakan dengan yang sebaliknya ucapannya (bisa) jadi bumerang atasmu. Berdasarkan hal tersebut, saya mengingatkan bahwa akal tidak mempunyai tempat dalam masalah ini, sehingga orang tidak mempunyai kelonggaran untuk berselisih paham dalam masalah tersebut.
dalamnya, sehingga seseorang bisa diterima alasannya jika menyelisihi (pendapat yang lain) dalam masalah itu. Bukan berarti ucapanmu akan menjadi bumerang bagi orang yang menyelisihimu, sebab kalau kita menerima (konsep) itu maka tentunya kita akan katakan dengan yang sebaliknya ucapannya (bisa) jadi bumerang atasmu. Berdasarkan hal tersebut, saya mengingatkan bahwa akal tidak mempunyai tempat dalam masalah ini, sehingga orang tidak mempunyai kelonggaran untuk berselisih paham dalam masalah tersebut.
Adapun orang-orang yang menyelisihi jalan kaum Salaf seperti (dalam)
masalah-masalah aqidah, maka dalam masalah ini penyelisihan yang dilakukan
seseorang yang berbeda dengan yang diyakini Salafus Shalih tidak bisa
ditolerir. Tapi pada masalah-masalah lain yang ada tempat bagi akal untuk
berperan di dalamnya, maka tidak sepatutnya untuk menjadikan perbedaan pendapat
tersebut sebagia bahan cemoohan bagi orang lain. Dan tidak sepatutnya untuk
menjadikan hal tersebut sebagai pemicu terjadinya permusuhan dan kebencian.
Para Sahabat radhiyallahu `anhum saling berbeda pendapat dalam
banyak masalah. Dan siapa yang mengetahui perbedaan pendapat di kalangan mereka
hendaklah ia merujuk atsar-atsar yang menuturkan tentang (keadaan)
mereka. Akan dijumpai berbagai perbedaan pendapat pada berbagai masalah. Permasalahan
mereka lebih besar dibandingkan dengan masalah-masalah yang diangkat oleh
orang-orang pada zaman ini sebagai isu-isu untuk berbeda pendapat, sehingga
orang-orang menjadikan perbedaan itu sebagai bentuk pengkotak-kotakan masa. Mereka
mengatakan, “Saya seide dengan Fulan, saya satu haluan dengan Fulan.” Seolah-olah
masalah ini adalah masalah penggolong-golongan (antara satu kelompok dengan
kelompok lain). Ini adalah suatu kekeliruan.
Contoh dari hal tersebut, ada seseorang mengatakan, “Jika engkau
bangkit dari ruku` janganlah engkau letakkan tangan kananmu di atas tangan
kirimu, tapi lepaskanlah kedua tanganmu ke arah sisi kedua belah pahamu. Jika engkau
tidak mengerjakan hal tersebut maka engkau adalah seorang ahli bid`ah.” Menyebut
ahli bid`ah bukan suatu perkara yang remeh. Apabila ada orang yang mengatakan
itu padaku maka akan timbul ketidaksukaan dalam dadaku sebab kita adalah
manusia biasa.
Kita katakan dalam masalah ini terdapat kelonggaran, seseorang mungkin
untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya atau melepaskan kedua
tangannya. Oleh karenanya Imam Ahmad memberikan alternatif untuk memilih apakah
ia meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya ataukah melepaskannya. Sebab perkara
dalam persoalan ini cukup longgar.
Tapi amalan manakah yang merupakan sunnah dalam masalah ini? Jawabannya
: Yang sunnah adalah engkau meletakkan tangan kananmu di atas tangan kirimu
jika engkau bangkit dari ruku`, sebagaimana engkau meletakkannya tatkala
berdiri. Dalilnya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Al Bukhari dari Sahal
bin Sa`ad, beliau berkata, “Dulu orang-orang menyuruh mereka yang
mengerjakan shalat untuk meletakkan tangan kanan di atas tangan kirinya.”[1]
Silahkan engkau perhatikan, apakah beliau kehendaki hal itu (menaruh
lengan kanan di atas lengan kiri) ketika sujud, ketika ruku`, ataukah ketika
duduk? Tidak, namun yang dikehendaki beliau adalah ketika dalam keadaan
berdiri, baik berdirinya itu belum ruku` atau sesudahnya.
Jadi kita wajib untuk tidak menjadikan perbedaan pendapat yang muncul
di kalangan ulama sebagai pemicu perpecahan dan persengketaan di antara umat
Islam. Sebab kita semua mendambakan kebenaran dan kita semua menjalankan apa
yang dipahami dari proses ijtihad mereka. Perbedaan pendapat itu senantiasa
muncul di kalangan ulama, bahkan pada zaman Nabi sekalipun. Kalau begitu,
penuntut ilmu berkewajiban untuk bersatu padu dan mereka tidak menjadikan
perbedaan pendapat semacam ini sebagai sebab untuk saling menjauhi dan saling
membenci satu sama lain.
Di kutip dari buku Tuntunan Ulama Salaf dalam Menuntut Ilmu Syar`i
karya Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin.
[1]
Hadits Riwayat Al Bukhari dalam Kitab Shifatush Shalat Bab : Wadha`al
Yimna `alal Yusra (meletakkan tangan kanan di atas tangan kiri) dan
lafadznya dari Sahal bin Sa`ad berkata ; “Manusia disuruh untuk meletakkan
tangan kanan di atas lengan kiri dalam shalatnya.”
Tidak ada komentar :
Posting Komentar